Kamis, 31 Mei 2012

HAMBA BEL DAN ASMAUL HUSNA


Oleh: Annisa Nurul ‘Alam

“Na, bangun. Sholat subuh sana, udah jam setengah enam,” perintah mbak Fie yang masih tak beranjak dari depan buku LKSnya.
            Aku mengeliat dari kasur berseprei batik kebanggaan Indonesia, mengerjapkan mata melihat sekeliling. Dari balik tirai kamar, sang raja singa menampakkan sinarnya menerobos celah-celah yang ada, menerangi kamarku yang tak ada cahaya lampu sama sekali karena lampu kamar yang mati hampir berminggu-minggu tak diganti oleh pihak asrama. Di samping kasurku, ada Mumun yang masih dalam posisi tidur tapi sudah memegang handphone yang dilengkapi fitur untuk menonton TV. Suara mbak Fie
yang mengingatkan untuk lekas sholat subuh terdengar lagi.
            Aku beranjak dari kasur, membuka pintu. Cahaya lampu aula asrama menyilaukan mataku, dan kulihat si samping kamarku sudah ada orang yang menyetrika. Alamak, aku belum menyetrika seragam hari ini.
           
“Yang nyetrika habis mbak siapa?” tanyaku pada mbak Molja yang sedang menyetrika.
            “Habisku Zaza, panjang antirannya kok. Terakhir si Tre,” sahut mbak Molja.
            Aku menghampiri kamar mbak Tre yang berada di dekat tempat wudhu. Sedikit melongokkan kepalaku di kamarnya, untuk bilang bahwa aku mengantri menyetrika. Tapi aku urungkan sebentar karena melihat mbak Tre dalam kondisi sholat atahiyat terakhir. Ampun! Ternyata yang telat bangun banyak dan tidak cuma aku saja.
            “Mbak, aku ngantri nyetrika ya?” bilangku pada mbak Tre yang sudah menyelesaikan salamnya. Dan dia hanya mengangguk melihatku lalu melanjutkan doa.
            Setelah melakukan ritual wudhu, aku lekas kembali ke kamar untuk sholat subuh. Dan kulihat Mumun masih dalam kondisi tidur. Selesai sholat, atribut sholatku aku lepas dan aku lipat. Mbak Fie masih sibuk belajar, ada ulangan PKn ujarnya.
            “Mun, sholat Mun, udah jam enam ini” suara mbak Fie berkoor di kamar yang terisi tiga manusia ini.
            Ampun, ternyata ada yang lebih parah bangunnya dari pada aku. Lalu Mumun pun beranjak dari kasurnya menuju tempat wudhu. Aku pun berbaring kembali ke kasur. Tak ada hal yang perlu dilakukan. Mengantri mandi? Hal itu sangat aneh, karena aku sudah tau akan menjadi orang terakhir yang mandi diantrian kamar mandiku. Yang kulakuan adalah mengambil HP dan ku nyalakan lagu Superman is Dead di MP3ku. Tirai kamar aku buka, membiarkan cahaya-cahaya matahari menerobos sesuka hati memasuki kamarku. Kubiarkan ia mengisi ruang kosong gelap yang ada. Udara dingin yang ada di ruangan pada awalnya pelan-pelan menjadi hangat tapi tak bisa menghalau dinginnya udara pagi. Aku tetap di atas kasur.
            Lagu di MP3 HPku berubah menjadi lagunya Gita Gutawa berjudul ‘Parasit’, Mumun selesai sholat. Tiba-tiba, perutku melilit sakit, bukan karena lapar tapi karena kebelet pupp. Langsung aku matikan MP3 diHPku, dan berlari mencari kamar mandi yang ada closednya. Benar, kondisi di asramaku memiliki lima kamar mandi karena yang menghuni asrama kurang lebih tiga puluh anak, dan dari lima kamar mandi itu yang terdapat closednya hanya 4 saja. Dan parahnya,minggu ini aku mendapat jatah kamar mandi yang tidak ada closednya. Padahal semua anak asrama tahu bahwa sekitar pukul lima pagi hingga pukul tujuh, adalah jam biologis perutku untuk melaksanakan tugasnya membuang sisa-sisa makanan hari kemarin.
            Kamar mandi nomer satu aku lihat, ada orang. Kamar mandi nomer tiga, empat, lima ada orang yang memakai. Tidaaaaaakkkkk! Aku menjerit dalam hati. Tidak mungkin aku memakai kamar mandi nomer dua karena itu adalah jatah kamar mandiku minggu ini dan tidak ada closednya, walau sekarang tidak ada yang memakai tapi bagaimana lagi kalau tidak ada closednya?
            Aku putuskan untuk masuk ke kamar mbak Tre, di sana ada Reza yang sedang dalam posisi duduk dan memegang HP.
            “Sabodo tiung,” ujarku untuk menyapa Reza.
            “Apa-apaan nih kamu? Eh temenmu yang aku SMS semalam buat tanya bahasa sunda balas nggak?” tanya Reza.
            “Wah, nggak ki. Kayanya dia sibuk belajar, mungkin sekolahnya udah UKK, kan dia sekolahnya di Bogor. Sorry ya Za,”
            “Nggak apa deh,”
            Aku pun mendekati Reza, dan duduk di sampingnya.
            “Za, aku mules nih”
            “Ya udah, tinggal ke kamar mandi aja, gitu aja kok susah”
            “Penuh semua”
            Akhirnya aku curhat sama kepada Reza akan sakit perutku. Curhatan yang sia-sia karena itu tak menyelesaikan masalah, dan perutku masih mulas. Kebiasaan anak asrama ketika pagi hari adalah bermalas-malasan. Karena udara dingin, menjadikan berlama-lama berbaring di atas kasur atau berada di sekitar kasur.
            “Orang normal itu, ngerasa mules dan kebelet pupp jam-jam seginian,” kata Reza.
            “Iya, dan aku sering ngerasa mules semenjak dapat jatah kamar sini. Dingin sih hawanya,” sahut mbak Tre.
            Dan kami pun membahas seputar sakit perut, dan aku bersandar pada badan gedhenya Reza dan melihat layar HPnya yang sedang dia pegang
            “Za, badanmu kok anget to? Bikin aku nggak begitu mules lagi,” ujarku tiba-tiba.
            “Ngece banget ik,” jawab Reza.
            “Ya udah, aku balik ke kamar dulu ya mbak, Za,” kataku sambil berdiri meninggalkan kamar mbak Tre.
            Aku pun kembali ke kamar, mendatangi kasurku yang sudah meraung-raung memintaku untuk berbaring di atasnya. Dan jam sudah menunjukkan pukul enam lebih. Mbak Fie sudah melakukan ritual mandi dan otomatis sudah memakai seragam. Bel jam ke nol di sekolahku belum berbunyi, dan itu menandakan bahwa jam belum melewati pukul 06.20. Anak kamar mandiku ada yang dari kelas 10 B tapi hanya satu orang, yang mana pada hari Rabu kelas tersbut medapat jatah jam ke nol untuk olahraga. Entah dia sudah mandi apa belum, jika belum itu merupakan pertanda buruk bahwa anak kamar mandiku belum ada yang mandi sama sekali.
            “Na, yang mandi sekarang siapa?” tanya Mumum.
            “Nggak tau,” jawabku dengan muka melas menahan rasa mulas.
            Lalu, Mumun berkutat lagi dengan HPnya. Dasar nona HP, ujarku dalam hati. Mumun tidak sedang menonton TV seperti yang dia lakukan setiap pagi atau menyalakan musik untuk bersaing dengan musik dari laptopnya mbak Fie yang biasanya juga dinyalakan. Dan pagi ini kamarku hampa tak ada suara musik yang berkoor dari laptop mbak Fie, HPnya Mumun dan HPku.
            Aku menata buku-buku ditasku sesuai jadwal hari ini, takut ada yang tertinggal. Mumun akhirnya beranjak dari kasurnya dan meninggalkan HPnya.
            “Eh Na, sekarang si Mumun ulang tahun lho,” kata mbak Fie tiba-tiba.
            “Haa? Si Mumun ulang tahunnya tanggal 30 Mei mbak, bukan sekarang,” jawabku.
            “Ya sekarang tanggal 30 Mei kali Na,”
            “Oh, sekarang tanggal 30 Mei ya? Baru sadar aku, aku kira masih tanggal 23,”
            “Yeee...kalo baru tanggal 23, kemarin akhiru sannah tanggal berapa?”
            Merasa menjadi orang yang lupa tanggal, aku pun sadar bahwa hari kemarin tanggal 29 Mei adalah hari perpisahan untuk kakak kelas 12. Pantas saja hari ini Mumun tak bisa lepas dari HPnya, mengecek akun facebooknya melalui HP dan melihat orang-orang dari detik ke detik mengucapkan ‘SELAMAT ULANG TAHUN’ kepadanya dan tersenyum-senyum sendiri melihat orang-orang mengucapkan selamat kepadanya. Dasar hantu facebook, ujarku pada Mumun dalam hati.
            Mungkin jika hari ini adalah ulang tahunku, aku akan bersikap seperti Mumun. Mengecek jejaring sosial, senyum-senyum sendiri melihat wall dari teman-temanku. Tapi aku lebih rasional dari Mumun, kerena aku tak seuptodate Mumun dalam hal jejaring sosial facebook. Karena aku tak memiliki pulsa yang lebih untuk mengecek akun facebook dari HP.
            Aku pun kembali berkutat pada jadwal hari ini, setelah dirasa membawa buku yang benar. Aku mengambil seragam yang ada di lemari. Sebenarnya bajuku sudah disetrika tapi karena lipatan-lipatan, kesan rapi pada seragamku pun hilang di mataku.
            Di tempat setrika ada mbak Noor, dia tergolong orang yang lama menyetrika. Aku hanya bisa pasrah menunggu giliran untuk menyetrika.
            Tiba-tiba, mulas dalam perutku menyerang lagi. Seketika aku berlari dari dalam kamar mencari kamar mandi yang kosong. Tapi nihil. Aku mengetok kamar mandi nomer empat.
            “Zaf, habismu siapa?” tanyaku pada  Zafira.
            “Habisku si Lina,” jawab Zafira dari dalam kamar mandi.
            “Antriannya tinggal si Lina doang?”
            “Iya deh kayanya”
            Aku pun lekas berlari ke kamar Lina. Mendapati dirinya sedang sibuk dengan lukisan piring miliknya tugas seni lukis yang harus disetorkan kepada pak Kis hari ini juga.
            “Lin, kamu mau mandi di kamar mandi nomer dua nggak?” tanyaku pada Lina
            “Trus kamu mandi kamar mandi nomer empat gitu? Ya udah deh, nggak apa,”
            Tinggal menunggu Zafira keluar dari kamar mandi. Masuk ke kamar sediki kaget, ternyata si Mumun sudah dalam posisi menggunakan seragam. Jadi yang belum mandi di antrian kamar mandiku tinggal aku dan Elisa. Aku melihat jam di HP, dan sudah menunjukkan jam 06.35.
Zafira sudah keluar dari kamar mandi, dia memanggil namaku untuk memakai kamar mandi nomer empat. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk kamar mandi. 5 menit kemudian aku keluar, dan ternyata Elisa belum selesai mandi.
“Lin, kamu mau mandi di mana? KM 4 apa KM 2?” tanyaku pada Lina.
“Aku mandi di KM 2 aja gimana Na?”
“Ya udah, tapi si Elisa belum selesai mandi gimana?”
“Ya nggak papa, aku tunggu aja,”
Kemudian aku mengambil baju seragam dan menuju kamar Vin. Di sana ada mbak Hasyati yang sedang menyetrik, kemudian aku bilang bahwa aku antri. Setrikaan depan, masih panjang antriannya, kalo aku menyetrika sesuai antrian setrikaan depan, bisa berangkat telat. Yah, walau mungkin semua guru sudah hafal bahwa anak asrama sering berangkat saat bel berbunyi, malah saat bacaan Asmaul husna.
Sekolahku memiliku kebiasaan bahwa setiap pagi setelah bel  jam pertama berbunyi. Dari pengeras suara ada bacaan Asmaul Husna selama 15 menit, dan yang membacakan adalah anak rohis yang bertugas pada hari itu. Dan Asmaul Husna adalah batas seorang siswa itu telat atau tidaknya. Batasan telat di sekolahku adalah 15 menit setelah bel dan itu saat Asmaul Husna selesai. Dan konsekuensi anak yang datang lebih dari 15 menit setelah bel berbunyi adalah dipulangkan. Dan anak asrama biasanya santai kalau berangkat saat bel selesai berbunyi karena biasanya berangkat sekolah tak sampai bacaan Asmaul Husna selesai.
Aku lalu menyetrika seragam dengan cepat, yang penting lipatan-lipatan telah tersamarkan. Elisa lalu memasuki kamarnya, itu pertanda bahwa Lina sudah masuk kamar mandi. Setelah selesai menyetrika, jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Dan aku bergegas mamasuki kamar mandi empat yang berada di depan kamar Elisa.
Bel berbunyi dan aku belum keluar dari kamar mandi. 2 menit kemudian aku keluar dari kamar mandi, dan bel masih menjerit-jerit, langsung saja aku pergi ke kamar Elisa yang masih mengenakan jilbab, dan aku mengambil rok dan jilbab yang aku titipkan di sana. Kemudian dengan setengah berlari aku menuju kamar depan, mbak Fie dalam posisi menggunakan jilbab di depan kaca yang ada di depan kamar. Setelah masuk kamar, aku langsung menggunakan rok. Peniti, pin, dan atribut jilbab lainnya aku ambil dari lemari. Karena buku-buku sudah siap di tas, aku menitipkan tasku kepada Zan yang ada sudah siap berangkat sekolah.
“Zan...Zan... Aku nitip tas ke kelas dong,” teriakku dengan setengah.
“Suzy juga nitip tas nggak?” tanya Zan.
“Suzy udah titip tas sama aku kok,” kata Zafira.
“Berangkat dulu ya Na,” kata Zan sambil pergi menenteng tasku.
Aku langsung bergegas menggenakan jilbab, dari kaca aku lihat ternyata Suzy juga baru selesai mandi dan sedang menggunakan jilbab. Suzy menyuruhku untuk cepat menggunakan jilbab. Mbak Fie yang sudah mandi sebelum bel berbunyi pun berangkat sekolah bersamaku. Elisa pun baru akan menggunaka sepatu saat aku sudah selesai memakai jilbab.
“Na, ayo cepetan,” teriak Suzy
“Ya, kamu duluan aja deh,” perintahku pada Suzy yang sudah siap tinggal berangkat.
Aku langsung mengambil kaos kaki, memakai dengan sekenanya. Lalu mengambil sepatu. Suzy ternyata masih setia menunggu. Dengan cepat aku menalikan tali sepatuku. Lalu lekas keluar dari pintu asrama. Suzy dan aku setengah berlari menyusul rombongan mbak Arin dan mbak Fie, karena bacaan Asmaul Husna telah selesai. Elisa beberapa menit sebelum Asmaul Husna selesai telah memasuki gerbang. Rombongan aku, Suzy, mbak Fie, dan mbak Arin diam sejenak, gerbang yang biasanya untuk masuk ke dalam sekolah ditutup. 
 “Puter balik..puter balik! Lewat lobby!” ujar mbak Fie panik.
Seperti dikomando, kami langsung ke arah depan sekolah. Alamak! Mau bagaimana lagi, ternyata guru piket sudah menghadang juga di depan pintu lobby dan kami tak bisa berkutik. Lalu kami digiring menuju loket piket, kami tidak yakin kami kami bakal dipulangkam karena status kami yang anak asrama dan tempat tinggal kami hanya bersebelahan dengan sekolah.
Petugas piket pada hari ini adalah Bu Poerwanti, Bu Sitti, Bu Susanti, dan Pak Rahman. Dan kami lihat bahwa Pak Rahman dari tadi bolak-balik di parkiran, bagai menunggu murid untuk siap dimangsa dan dibawa ke piketan.
Setelah sampai dipiketan, petugas hanya shock melihat anak-anak asrama telat hingga seperti ini. Mungkin ini kali pertama ada anak asrama yang telat hingga berurusan dengan piketan.
“Bu kita nggak dipulangkan kan?” ujar mbak Arin dengan wajah penuh harap.
“Ya jelas kalian dipulangkan,” ujar Bu Poer kepada kami.
“Tapi kan kami anak asrama,” susul mbak Fie.
“Tidak ada perbedaaan anak asrama dengan anak rumah,” jawab Bu Sitti.
Kami lemas seketika, kemudian daku baru sadar bahwa teman sekelasku, Siti, juga ikut telat bersama kami. Dari gerbang, ada anak kelas sebelah yang baru memarkirkan motornya. Dan dia juga tersangka dipulangkan, lalu tiba-tiba ruang piket sudah penuh oleh pakar-pakar dipulangkan. Dari anak kelas RMBI hingga kelas Program Keagamaan. Lalu tiba-tiba Bu Wahyu berada di dalam ruang piket.
“Ibu, saya ikut ulangan PKn dulu ya bu?” kata mbak Fie pada Bu Wahyu.
“Ya ndak bisa mbak, kamu ikut susulan saja,”tegas bu Wahyu.
“Ah ibu,”rengek mbak Fie.
Dan sudah positive, kami dipulangkan dari sekolah dengan menahan malu. Kami pun beramai-ramai menuju asrama. Meratapi nasib kami dan menertawakan diri sendiri. Lalu anak kelas 10 B yang mendapat jatah olahraga jam ke nol pun pulang ke asrama untuk berganti baju, mereka kaget melihat kami berempat belum masuk kelas. Dan kami pun bercerita kronologi bagaimana kami bisa belum masuk kelas sampai sekarang.
Setelah anak kelas 10 B pergi menuju kelas mereka, kami pun mulai bercerita kepada kami masing-masing bahwa kami tidak akan pernah melupakan hukuman dipulangkan ini, anak asrama pula. Kami mengambil kesimpulan bahwa, anak asrama mau mandi sebelum subuh, habis subuh atau mepet bel jam tujuh dapat diperkirakan bahwa berangkatnya tak jauh beda dengan yang mandi mepet dengan yang mandi jam tujuh. Dan anak asrama adalah budak dari bel dan hamba dari Asmaul Husna.  

...
           
            “Gimana ceritanya kalian bisa dipulangin?” pertanyaan itu masih menjadi topik hangat untuk kami hingga malam hari.
            Pengasuh asrama pun juga sudah mengingatkan kami untuk tidak telat berangkat sekolah esok. Kami malu kalau telat lalu dipulangkan. Bagiku dan Suzy ini adalah kali pertama kami dipulangkan, mungkin seumur umur kami berada di sekolah ini dan belum genap satu tahun, ini adalah kali pertama kami mendapat hukuman seperti ini. Dan bagi mbak Fie dan mbak Arin, kali pertama pula semenjak dua tahun sekolah di SMA.
            Walau kami malu karena dipulangkan tapi ada rasa bangga karena kami sudah merasakan bagaimana perasaaan dipulangkan. Dan kami tidak malu mengakui kami telat dan mendapat hukuman dipulangkan. Yah, walau asrama sedikit tercoreng karena ulah kami toh mereka belajar dari kami agar tidak berangkat telat seperti kami. Lebih baik satu contoh daripada seribu nasehat.
            “Mbak Fie, ada tweet bagus nih dari @EkWaTo,”ujarku pada mbak Fie ketika sudah larut malam.
            “Emang apa bunyinya?” tanya mbak Fie.
            “Anak muda jangan takut berbuat kesalahan, karena masih punya waktu panjang untuk memperbaiki. Yang tua...?”
            “Hahaha......Asik srokk! Di Retweet sana, klo nggak ya di copas taruh Facebook ntar aku comment,”
            Perintah mbak Fie aku laksanakan, dan memang benar. Kami tak perlu malu dengan apa yang kami perbuat toh ada waktu untuk memperbaiki.

2 komentar:

  1. wah dapet jp lu,,
    jack POT,,
    xixixi,,
    btw ak lg jalan2 d blogger ni,, ehh ktemu blog mu !!!

    BalasHapus
  2. trus aku hars bilang "WOW" gitu kamu nemu blogku? hahahah
    follow cing :)

    BalasHapus