Oleh: Annisa
Nurul ‘Alam
“Na, bangun. Sholat subuh sana, udah jam setengah enam,” perintah
mbak Fie yang masih tak beranjak dari depan buku LKSnya.
Aku mengeliat dari kasur berseprei batik kebanggaan Indonesia,
mengerjapkan mata melihat sekeliling. Dari balik tirai kamar, sang raja singa
menampakkan sinarnya menerobos celah-celah yang ada, menerangi kamarku yang tak
ada cahaya lampu sama sekali karena lampu kamar yang mati hampir
berminggu-minggu tak diganti oleh pihak asrama. Di samping kasurku, ada Mumun
yang masih dalam posisi tidur tapi sudah memegang handphone yang dilengkapi
fitur untuk menonton TV. Suara mbak Fie
yang mengingatkan untuk lekas sholat subuh terdengar lagi.
yang mengingatkan untuk lekas sholat subuh terdengar lagi.
Aku beranjak dari kasur, membuka
pintu. Cahaya lampu aula asrama menyilaukan mataku, dan kulihat si samping
kamarku sudah ada orang yang menyetrika. Alamak, aku belum menyetrika seragam
hari ini.
“Habisku Zaza, panjang antirannya
kok. Terakhir si Tre,” sahut mbak Molja.
Aku menghampiri kamar mbak Tre yang
berada di dekat tempat wudhu. Sedikit melongokkan kepalaku di kamarnya, untuk
bilang bahwa aku mengantri menyetrika. Tapi aku urungkan sebentar karena
melihat mbak Tre dalam kondisi sholat atahiyat terakhir. Ampun! Ternyata yang
telat bangun banyak dan tidak cuma aku saja.
“Mbak, aku ngantri nyetrika ya?”
bilangku pada mbak Tre yang sudah menyelesaikan salamnya. Dan dia hanya
mengangguk melihatku lalu melanjutkan doa.
Setelah melakukan ritual wudhu, aku
lekas kembali ke kamar untuk sholat subuh. Dan kulihat Mumun masih dalam
kondisi tidur. Selesai sholat, atribut sholatku aku lepas dan aku lipat. Mbak
Fie masih sibuk belajar, ada ulangan PKn ujarnya.
“Mun, sholat Mun, udah jam enam ini”
suara mbak Fie berkoor di kamar yang terisi tiga manusia ini.
Ampun, ternyata ada yang lebih parah
bangunnya dari pada aku. Lalu Mumun pun beranjak dari kasurnya menuju tempat
wudhu. Aku pun berbaring kembali ke kasur. Tak ada hal yang perlu dilakukan.
Mengantri mandi? Hal itu sangat aneh, karena aku sudah tau akan menjadi orang
terakhir yang mandi diantrian kamar mandiku. Yang kulakuan adalah mengambil HP dan
ku nyalakan lagu Superman is Dead di MP3ku. Tirai kamar aku buka, membiarkan
cahaya-cahaya matahari menerobos sesuka hati memasuki kamarku. Kubiarkan ia
mengisi ruang kosong gelap yang ada. Udara dingin yang ada di ruangan pada
awalnya pelan-pelan menjadi hangat tapi tak bisa menghalau dinginnya udara
pagi. Aku tetap di atas kasur.
Lagu di MP3 HPku berubah menjadi
lagunya Gita Gutawa berjudul ‘Parasit’, Mumun selesai sholat. Tiba-tiba,
perutku melilit sakit, bukan karena lapar tapi karena kebelet pupp. Langsung
aku matikan MP3 diHPku, dan berlari mencari kamar mandi yang ada closednya.
Benar, kondisi di asramaku memiliki lima kamar mandi karena yang menghuni
asrama kurang lebih tiga puluh anak, dan dari lima kamar mandi itu yang
terdapat closednya hanya 4 saja. Dan parahnya,minggu ini aku mendapat jatah
kamar mandi yang tidak ada closednya. Padahal semua anak asrama tahu bahwa
sekitar pukul lima pagi hingga pukul tujuh, adalah jam biologis perutku untuk
melaksanakan tugasnya membuang sisa-sisa makanan hari kemarin.
Kamar mandi nomer satu aku lihat,
ada orang. Kamar mandi nomer tiga, empat, lima ada orang yang memakai.
Tidaaaaaakkkkk! Aku menjerit dalam hati. Tidak mungkin aku memakai kamar mandi
nomer dua karena itu adalah jatah kamar mandiku minggu ini dan tidak ada
closednya, walau sekarang tidak ada yang memakai tapi bagaimana lagi kalau
tidak ada closednya?
Aku putuskan untuk masuk ke kamar
mbak Tre, di sana ada Reza yang sedang dalam posisi duduk dan memegang HP.
“Sabodo tiung,” ujarku untuk menyapa
Reza.
“Apa-apaan nih kamu? Eh temenmu yang
aku SMS semalam buat tanya bahasa sunda balas nggak?” tanya Reza.
“Wah, nggak ki. Kayanya dia sibuk
belajar, mungkin sekolahnya udah UKK, kan dia sekolahnya di Bogor. Sorry ya
Za,”
“Nggak apa deh,”
Aku pun mendekati Reza, dan duduk di
sampingnya.
“Za, aku mules nih”
“Ya udah, tinggal ke kamar mandi
aja, gitu aja kok susah”
“Penuh semua”
Akhirnya aku curhat sama kepada Reza
akan sakit perutku. Curhatan yang sia-sia karena itu tak menyelesaikan masalah,
dan perutku masih mulas. Kebiasaan anak asrama ketika pagi hari adalah
bermalas-malasan. Karena udara dingin, menjadikan berlama-lama berbaring di
atas kasur atau berada di sekitar kasur.
“Orang normal itu, ngerasa mules dan
kebelet pupp jam-jam seginian,” kata Reza.
“Iya, dan aku sering ngerasa mules
semenjak dapat jatah kamar sini. Dingin sih hawanya,” sahut mbak Tre.
Dan kami pun membahas seputar sakit
perut, dan aku bersandar pada badan gedhenya Reza dan melihat layar HPnya yang
sedang dia pegang
“Za, badanmu kok anget to? Bikin aku
nggak begitu mules lagi,” ujarku tiba-tiba.
“Ngece banget ik,” jawab Reza.
“Ya udah, aku balik ke kamar dulu ya
mbak, Za,” kataku sambil berdiri meninggalkan kamar mbak Tre.
Aku pun kembali ke kamar, mendatangi
kasurku yang sudah meraung-raung memintaku untuk berbaring di atasnya. Dan jam
sudah menunjukkan pukul enam lebih. Mbak Fie sudah melakukan ritual mandi dan
otomatis sudah memakai seragam. Bel jam ke nol di sekolahku belum berbunyi, dan
itu menandakan bahwa jam belum melewati pukul 06.20. Anak kamar mandiku ada
yang dari kelas 10 B tapi hanya satu orang, yang mana pada hari Rabu kelas
tersbut medapat jatah jam ke nol untuk olahraga. Entah dia sudah mandi apa
belum, jika belum itu merupakan pertanda buruk bahwa anak kamar mandiku belum
ada yang mandi sama sekali.
“Na, yang mandi sekarang siapa?”
tanya Mumum.
“Nggak tau,” jawabku dengan muka
melas menahan rasa mulas.
Lalu, Mumun berkutat lagi dengan
HPnya. Dasar nona HP, ujarku dalam hati. Mumun tidak sedang menonton TV seperti
yang dia lakukan setiap pagi atau menyalakan musik untuk bersaing dengan musik
dari laptopnya mbak Fie yang biasanya juga dinyalakan. Dan pagi ini kamarku
hampa tak ada suara musik yang berkoor dari laptop mbak Fie, HPnya Mumun dan HPku.
Aku menata buku-buku ditasku sesuai
jadwal hari ini, takut ada yang tertinggal. Mumun akhirnya beranjak dari
kasurnya dan meninggalkan HPnya.
“Eh Na, sekarang si Mumun ulang
tahun lho,” kata mbak Fie tiba-tiba.
“Haa? Si Mumun ulang tahunnya tanggal
30 Mei mbak, bukan sekarang,” jawabku.
“Ya sekarang tanggal 30 Mei kali
Na,”
“Oh, sekarang tanggal 30 Mei ya?
Baru sadar aku, aku kira masih tanggal 23,”
“Yeee...kalo baru tanggal 23,
kemarin akhiru sannah tanggal berapa?”
Merasa menjadi orang yang lupa
tanggal, aku pun sadar bahwa hari kemarin tanggal 29 Mei adalah hari perpisahan
untuk kakak kelas 12. Pantas saja hari ini Mumun tak bisa lepas dari HPnya,
mengecek akun facebooknya melalui HP dan melihat orang-orang dari detik ke
detik mengucapkan ‘SELAMAT ULANG TAHUN’ kepadanya dan tersenyum-senyum sendiri
melihat orang-orang mengucapkan selamat kepadanya. Dasar hantu facebook, ujarku
pada Mumun dalam hati.
Mungkin jika hari ini adalah ulang
tahunku, aku akan bersikap seperti Mumun. Mengecek jejaring sosial, senyum-senyum
sendiri melihat wall dari teman-temanku. Tapi aku lebih rasional dari Mumun,
kerena aku tak seuptodate Mumun dalam hal jejaring sosial facebook. Karena aku
tak memiliki pulsa yang lebih untuk mengecek akun facebook dari HP.
Aku pun kembali berkutat pada jadwal
hari ini, setelah dirasa membawa buku yang benar. Aku mengambil seragam yang
ada di lemari. Sebenarnya bajuku sudah disetrika tapi karena lipatan-lipatan,
kesan rapi pada seragamku pun hilang di mataku.
Di tempat setrika ada mbak Noor, dia
tergolong orang yang lama menyetrika. Aku hanya bisa pasrah menunggu giliran
untuk menyetrika.
Tiba-tiba, mulas dalam perutku
menyerang lagi. Seketika aku berlari dari dalam kamar mencari kamar mandi yang kosong.
Tapi nihil. Aku mengetok kamar mandi nomer empat.
“Zaf, habismu siapa?” tanyaku pada Zafira.
“Habisku si Lina,” jawab Zafira dari
dalam kamar mandi.
“Antriannya tinggal si Lina doang?”
“Iya deh kayanya”
Aku pun lekas berlari ke kamar Lina.
Mendapati dirinya sedang sibuk dengan lukisan piring miliknya tugas seni lukis
yang harus disetorkan kepada pak Kis hari ini juga.
“Lin, kamu mau mandi di kamar mandi
nomer dua nggak?” tanyaku pada Lina
“Trus kamu mandi kamar mandi nomer
empat gitu? Ya udah deh, nggak apa,”
Tinggal menunggu Zafira keluar dari
kamar mandi. Masuk ke kamar sediki kaget, ternyata si Mumun sudah dalam posisi
menggunakan seragam. Jadi yang belum mandi di antrian kamar mandiku tinggal aku
dan Elisa. Aku melihat jam di HP, dan sudah menunjukkan jam 06.35.
Zafira sudah keluar dari kamar mandi, dia memanggil namaku untuk
memakai kamar mandi nomer empat. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk kamar
mandi. 5 menit kemudian aku keluar, dan ternyata Elisa belum selesai mandi.
“Lin, kamu mau mandi di mana? KM 4 apa KM 2?” tanyaku pada Lina.
“Aku mandi di KM 2 aja gimana Na?”
“Ya udah, tapi si Elisa belum selesai mandi gimana?”
“Ya nggak papa, aku tunggu aja,”
Kemudian aku mengambil baju seragam dan menuju kamar Vin. Di sana
ada mbak Hasyati yang sedang menyetrik, kemudian aku bilang bahwa aku antri.
Setrikaan depan, masih panjang antriannya, kalo aku menyetrika sesuai antrian
setrikaan depan, bisa berangkat telat. Yah, walau mungkin semua guru sudah
hafal bahwa anak asrama sering berangkat saat bel berbunyi, malah saat bacaan
Asmaul husna.
Sekolahku memiliku kebiasaan bahwa setiap pagi setelah bel jam pertama berbunyi. Dari pengeras suara ada
bacaan Asmaul Husna selama 15 menit, dan yang membacakan adalah anak rohis yang
bertugas pada hari itu. Dan Asmaul Husna adalah batas seorang siswa itu telat
atau tidaknya. Batasan telat di sekolahku adalah 15 menit setelah bel dan itu
saat Asmaul Husna selesai. Dan konsekuensi anak yang datang lebih dari 15 menit
setelah bel berbunyi adalah dipulangkan. Dan anak asrama biasanya santai kalau
berangkat saat bel selesai berbunyi karena biasanya berangkat sekolah tak
sampai bacaan Asmaul Husna selesai.
Aku lalu menyetrika seragam dengan cepat, yang penting
lipatan-lipatan telah tersamarkan. Elisa lalu memasuki kamarnya, itu pertanda
bahwa Lina sudah masuk kamar mandi. Setelah selesai menyetrika, jam sudah
menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Dan aku bergegas mamasuki kamar
mandi empat yang berada di depan kamar Elisa.
Bel berbunyi dan aku belum keluar dari kamar mandi. 2 menit
kemudian aku keluar dari kamar mandi, dan bel masih menjerit-jerit, langsung
saja aku pergi ke kamar Elisa yang masih mengenakan jilbab, dan aku mengambil
rok dan jilbab yang aku titipkan di sana. Kemudian dengan setengah berlari aku
menuju kamar depan, mbak Fie dalam posisi menggunakan jilbab di depan kaca yang
ada di depan kamar. Setelah masuk kamar, aku langsung menggunakan rok. Peniti,
pin, dan atribut jilbab lainnya aku ambil dari lemari. Karena buku-buku sudah
siap di tas, aku menitipkan tasku kepada Zan yang ada sudah siap berangkat
sekolah.
“Zan...Zan... Aku nitip tas ke kelas dong,” teriakku dengan
setengah.
“Suzy juga nitip tas nggak?” tanya Zan.
“Suzy udah titip tas sama aku kok,” kata Zafira.
“Berangkat dulu ya Na,” kata Zan sambil pergi menenteng tasku.
Aku langsung bergegas menggenakan jilbab, dari kaca aku lihat
ternyata Suzy juga baru selesai mandi dan sedang menggunakan jilbab. Suzy
menyuruhku untuk cepat menggunakan jilbab. Mbak Fie yang sudah mandi sebelum
bel berbunyi pun berangkat sekolah bersamaku. Elisa pun baru akan menggunaka
sepatu saat aku sudah selesai memakai jilbab.
“Na, ayo cepetan,” teriak Suzy
“Ya, kamu duluan aja deh,” perintahku pada Suzy yang sudah siap
tinggal berangkat.
Aku langsung mengambil kaos kaki, memakai dengan sekenanya. Lalu
mengambil sepatu. Suzy ternyata masih setia menunggu. Dengan cepat aku
menalikan tali sepatuku. Lalu lekas keluar dari pintu asrama. Suzy dan aku
setengah berlari menyusul rombongan mbak Arin dan mbak Fie, karena bacaan
Asmaul Husna telah selesai. Elisa beberapa menit sebelum Asmaul Husna selesai
telah memasuki gerbang. Rombongan aku, Suzy, mbak Fie, dan mbak Arin diam
sejenak, gerbang yang biasanya untuk masuk ke dalam sekolah ditutup.
“Puter balik..puter balik!
Lewat lobby!” ujar mbak Fie panik.
Seperti dikomando, kami langsung ke arah depan sekolah. Alamak! Mau
bagaimana lagi, ternyata guru piket sudah menghadang juga di depan pintu lobby
dan kami tak bisa berkutik. Lalu kami digiring menuju loket piket, kami tidak
yakin kami kami bakal dipulangkam karena status kami yang anak asrama dan
tempat tinggal kami hanya bersebelahan dengan sekolah.
Petugas piket pada hari ini adalah Bu Poerwanti, Bu Sitti, Bu
Susanti, dan Pak Rahman. Dan kami lihat bahwa Pak Rahman dari tadi bolak-balik
di parkiran, bagai menunggu murid untuk siap dimangsa dan dibawa ke piketan.
Setelah sampai dipiketan, petugas hanya shock melihat anak-anak
asrama telat hingga seperti ini. Mungkin ini kali pertama ada anak asrama yang
telat hingga berurusan dengan piketan.
“Bu kita nggak dipulangkan kan?” ujar mbak Arin dengan wajah penuh
harap.
“Ya jelas kalian dipulangkan,” ujar Bu Poer kepada kami.
“Tapi kan kami anak asrama,” susul mbak Fie.
“Tidak ada perbedaaan anak asrama dengan anak rumah,” jawab Bu
Sitti.
Kami lemas seketika, kemudian daku baru sadar bahwa teman
sekelasku, Siti, juga ikut telat bersama kami. Dari gerbang, ada anak kelas
sebelah yang baru memarkirkan motornya. Dan dia juga tersangka dipulangkan,
lalu tiba-tiba ruang piket sudah penuh oleh pakar-pakar dipulangkan. Dari anak
kelas RMBI hingga kelas Program Keagamaan. Lalu tiba-tiba Bu Wahyu berada di
dalam ruang piket.
“Ibu, saya ikut ulangan PKn dulu ya bu?” kata mbak Fie pada Bu
Wahyu.
“Ya ndak bisa mbak, kamu ikut susulan saja,”tegas bu Wahyu.
“Ah ibu,”rengek mbak Fie.
Dan sudah positive, kami dipulangkan dari sekolah dengan menahan
malu. Kami pun beramai-ramai menuju asrama. Meratapi nasib kami dan
menertawakan diri sendiri. Lalu anak kelas 10 B yang mendapat jatah olahraga
jam ke nol pun pulang ke asrama untuk berganti baju, mereka kaget melihat kami
berempat belum masuk kelas. Dan kami pun bercerita kronologi bagaimana kami
bisa belum masuk kelas sampai sekarang.
Setelah anak kelas 10 B pergi menuju kelas mereka, kami pun mulai
bercerita kepada kami masing-masing bahwa kami tidak akan pernah melupakan
hukuman dipulangkan ini, anak asrama pula. Kami mengambil kesimpulan bahwa,
anak asrama mau mandi sebelum subuh, habis subuh atau mepet bel jam tujuh dapat
diperkirakan bahwa berangkatnya tak jauh beda dengan yang mandi mepet dengan
yang mandi jam tujuh. Dan anak asrama adalah budak dari bel dan hamba dari
Asmaul Husna.
...
“Gimana ceritanya kalian bisa
dipulangin?” pertanyaan itu masih menjadi topik hangat untuk kami hingga malam
hari.
Pengasuh asrama pun juga sudah
mengingatkan kami untuk tidak telat berangkat sekolah esok. Kami malu kalau
telat lalu dipulangkan. Bagiku dan Suzy ini adalah kali pertama kami
dipulangkan, mungkin seumur umur kami berada di sekolah ini dan belum genap satu
tahun, ini adalah kali pertama kami mendapat hukuman seperti ini. Dan bagi mbak
Fie dan mbak Arin, kali pertama pula semenjak dua tahun sekolah di SMA.
Walau kami malu karena dipulangkan
tapi ada rasa bangga karena kami sudah merasakan bagaimana perasaaan
dipulangkan. Dan kami tidak malu mengakui kami telat dan mendapat hukuman
dipulangkan. Yah, walau asrama sedikit tercoreng karena ulah kami toh mereka belajar
dari kami agar tidak berangkat telat seperti kami. Lebih baik satu contoh
daripada seribu nasehat.
“Mbak Fie, ada tweet bagus nih dari
@EkWaTo,”ujarku pada mbak Fie ketika sudah larut malam.
“Emang apa bunyinya?” tanya mbak
Fie.
wah dapet jp lu,,
BalasHapusjack POT,,
xixixi,,
btw ak lg jalan2 d blogger ni,, ehh ktemu blog mu !!!
trus aku hars bilang "WOW" gitu kamu nemu blogku? hahahah
BalasHapusfollow cing :)